oleh

Pembalakan Liar Kembali Mencuat di Cidahu, Status Tanah Enklave TNGHS Jadi Sorotan

SUKABUMI – Persoalan pengelolaan tanah enklave di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) kembali menjadi perhatian publik. Aktivitas pembalakan liar (illegal logging) dilaporkan marak di Blok Cangkuang, Desa Cidahu, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi.

Dari hasil pemantauan lapangan, area hutan di perbatasan Sukabumi–Bogor tampak mengalami kerusakan cukup parah. Aktivitas penebangan liar diduga dilakukan secara terorganisir, dengan alur distribusi kayu yang mengarah keluar kawasan taman nasional. Ironisnya, perusakan justru terjadi di wilayah yang seharusnya mendapat perlindungan ketat dari negara.

Ketua Fraksi Rakyat sekaligus perwakilan Tim Advokasi Warga Cidahu, Rozak Daud, menegaskan bahwa tanah enklave memang memiliki status hukum khusus, namun hal itu tidak berarti masyarakat bebas melakukan perambahan liar.

“Enklave memang hak masyarakat, tetapi tetap tunduk pada aturan konservasi. Kalau dijadikan ladang illegal logging, itu bukan hanya melanggar hukum, tapi juga mengkhianati amanah perlindungan hutan,” ujarnya.

Rozak juga menyoroti munculnya wacana pemanfaatan enklave menjadi kawasan wisata alam. Menurutnya, ide tersebut memunculkan pro dan kontra di kalangan warga. Pendukungnya menilai wisata berbasis masyarakat bisa menjadi solusi ekonomi sekaligus menjaga kelestarian hutan, namun sebagian pihak khawatir justru menjadi pintu masuk komersialisasi yang mempercepat kerusakan lingkungan.

Ia menambahkan bahwa pihaknya kini tengah melakukan inventarisasi tanah enklave bersama ATR/BPN untuk memastikan kejelasan status kepemilikan lahan. Dialog dengan warga terus dibuka, namun semua bentuk pemanfaatan tetap harus mengacu pada prinsip konservasi.

“Masyarakat ingin hidup tenang dan mendapat penghasilan dari alam, tapi pengelolaan harus adil dan jelas. Jangan sampai warga tersisih dari tanah yang mereka rawat turun-temurun,” tegas Rozak.

Persoalan enklave ini, lanjutnya, menjadi gambaran klasik konflik agraria di kawasan konservasi—benturan antara hak masyarakat, kepentingan ekonomi, dan kewajiban menjaga ekosistem. Ia mendesak pemerintah segera membuat pedoman pengelolaan enklave agar hutan tidak terus menjadi korban ketidakpastian hukum.

Sementara itu, Anggota DPRD Kabupaten Sukabumi Komisi II, Bayu Permana, menilai maraknya pembalakan liar di Blok Cangkuang disebabkan lemahnya regulasi. Menurutnya, enklave merupakan wilayah yang berada di dalam peta kawasan kehutanan, tetapi belum memiliki kepastian hukum sebagai kawasan konservasi.

“Di areal enklave belum ada aturan tegas yang melarang eksplorasi, sehingga sering dijadikan lahan pertanian atau pariwisata. Namun, kawasan ini tetap memiliki nilai ekologis tinggi karena berada di lereng Gunung Salak,” jelas Bayu.

Ia menegaskan bahwa meskipun enklave tidak masuk secara resmi dalam zona taman nasional, wilayah tersebut seharusnya tetap dilindungi sebagai kawasan konservasi lokal atau daerah berstatus kearifan lokal.

Bayu juga mendorong agar Kabupaten Sukabumi segera memiliki Peraturan Daerah tentang Pelestarian Pengetahuan Tradisional dan Perlindungan Sumber Air. Regulasi ini, katanya, penting untuk menjaga kawasan bernilai ekologis tinggi di luar taman nasional.

“Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem (KSDAE) memberi ruang bagi penetapan kawasan konservasi di luar taman nasional. Enklave Cangkuang bisa dijadikan kawasan perlindungan berbasis kearifan lokal,” ujar Bayu.

Ia menegaskan bahwa meskipun status enklave masih dalam proses penetapan, fungsinya sebagai penyangga ekosistem dan pelindung sumber air harus dijaga demi keberlanjutan lingkungan serta mitigasi bencana di masa depan.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed